Tuban dulunya adalah pelabuhan besar, tempat singgah perdagangan dan pelayaran internasional. Letak yang strategis, di jalur pantai utara Pulau Jawa, menjadikannya sebagai situs penting dalam perjalanan sejarah dunia, sejak kerajaan Airlangga hingga Mataram Islam. Secara politik, ekonomi, sosial, maupun budaya, melalui bandar antar negara inilah terjadi perebutan kuasa antar wilayah, percepatan ekonomi dan status sosial, serta akulturasi budaya.
Pesisir Tuban dengan debur ombak putih yang eksotik, sehingga dikenal sebagai Kambang Putih, merupakan salah satu titik dakwah Sunan Bonang, salah satu figur wali Songo yang menyiarkan Islam dengan pendekatan budaya dan tasawuf.
Dalam aspek budaya, kita mengenal alat musik bonang sebagai salah satu instrumen gamelan Jawa, yang penamaannya dinisbatkan tidak lain adalah kepadanya. Sejumlah tembang Jawa seperti Lir-Ilir dan Gundul Pacul adalah juga karangannya yang langgeng dilafalkan masyarakat hingga masa kini dan dipercaya mengandung seruan dakwah dan ajaran luhur.
Adapun tasawuf sebagai pendekatan mistis Islami yang digelutinya, cenderung dimaknai sebagai pengetahuan mistik semata. Sisi intelektual sosok bernama asal Maulana Makhdum Ibrahim ini, sebagai ulama yang menguasai ilmu fikih, ushuluddin, seni budaya, sastra, juga arsitektur, tidak lebih dikenal masyarakat dibanding sisi kedigdayaannya yang sulit dibuktikan secara empiris.
Sebagai contoh adalah cerita ketika Sunan Bonang mendapatkan tantangan adu ayam dari Ajar Blacak Ngilo. Diperintahnya murid bernama Wujil untuk menjagokan seekor anak ayam. Setiap kali kalah, tubuh anak ayam ini justru akan membesar, setelah mendapat tiupan nafas dari santri Wujil. Akhirnya, ayam Ajar Blacak Ngilo tewas dengan sekali serang dari anak ayam yang mendapatkan kesaktian dari karomah sang Sunan.
Sunan Bonang juga dikenal memiliki empat makam dengan empat versi cerita dari masing-masing juru kunci makam. Keempat makan tersebut berada di Tuban, Lasem-Rembang, dan dua makam di Tambak Kramat- Bawean.
Seno Gumira Ajidarma menuliskan hikayat empat makam ini terjadi karena perebutan jenazah. Masing-masing juru kunci mempercayai situsnya sebagai tempat dikebumikannya jasad yang sesungguhnya, sedangkan lainnya hanyalah menguburkan kain kafannya.
Sejatinya, dalam bidang tasawuf Sunan Bonang mewariskan sejumlah puisi sufi berbahasa Jawa yang disebut Suluk. Belasan suluk karangannya diulas oleh orientalis Belanda GWJ Drewes dalam sebuah artikel ilmiah.
Mereka adalah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol, dan lain-lain. Saat ini, tidak satu pun dari suluk tersebut dapat diakses di perpustakaan nasional RI kecuali Suluk Wujil.
Pendahulu Drewes, Betram Johannes Otto Schrieke (1890-1945), menemukan bahwa salah satu kitab berbahasa Jawa yang saat ini berada di Perpustakaan Universitas Leiden Belanda, adalah juga suluk karya Sunan Bonang. Melalui disertasi doktoralnya berjudul Het Boek van Bonang (1916), Schrieke meyakini hal ini berdasarkan kalimat di penghujung naskah yang berbunyi Tammat carita cinitra kang pakerti pangeraning Bonang.
Selain kalimat pada akhir kitab, yang merupakan kelaziman bagi setiap penulis dalam mencantumkan lini masa pada ujung karyanya, usia naskah ini juga diperkirakan satu masa dengan kehidupan Sunan Bonang.
Dalam tulisannya, Schrieke menjabarkan asal-usul manuskrip dengan kode or. 1928 di perpustakaan universitas Leiden Belanda tersebut. Sebelum tahun 1870, manuskrip ini merupakan koleksi Bonaventura Vulcanius (lahir di Bruges 1538), yang merupakan profesor Yunani di Universitas leiden pada 1578-1614.
Tulisan Liber Japonensis pada sampil manuskrip, menurut Drewes adalah tulisan tangan Vulcanius yang menganggap aksara di dalamnya sebagai huruf Jepang, karena tulisan pada buku ini tidak dikenali sebagai sebagai aksara jawa, sampai beberapa abad kemudian.
BJO Schrieke melakukan investigasi bagaimana Vulcanius bisa mendapatkan manuskrip ini, dan menemukan bahwa, kitab ini dibawa dari pelabuhan Jawa Timur, antara Sedayu atau Tuban, selama pelayaran pertama belanda ke Insonesia. Sehingga tahun ditemukannya kitab tersebut adalah sebelum 1600.
Kitab ini kemungkinan besar sampai kepada Vulcanius melalui Damasius van Blijenburg, murid dari Vulcanius, yang memiliki kontak dengan penyelenggara Ekspedisi ke 'Timur.
Pada 1969, Drewes (meskipun mengakui suluk Bonang yang lain) melakuan kajian ulang atas kitab ini dalam disertasi berjudul The Admonitions of Seh Bari. Drewes memberikan interpretasi dan komentarnya tentang manuskrip kuno ini melalui publikasi di Lembaga Ilmu Bahasa Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda.
Sebagai dalih, Drewes mengutarakan urgensi reinterpretasinya adalah karena minimnya sarjana yang mengkaji tentang budaya Jawa. Sedangkan di antara sedikit itu, lebih sedikit lagi yang mempelajari tentang manuskrip Jawa.
Dalam karya tersebut, Drewes mengklaim bahwa manuskrip yang selama ini disandarkan kepada Sunan Bonang tersebut bukanlah karangan Sunan Bonang. Merujuk catatan perjalanan Alfonso Dalboquerque tentang peristiwa penyerangan Malaka oleh Sunan Bonang dan Sunan Giri sewaktu muda, kitab ini memiliki rentang masa setidaknya 75 tahun setelah kematian Sunan Bonang.
Menurut Drewes, penulis kitab ini bisa jadi siapa saja yang pernah bekerja dengan Sunan Bonang atau yang mengharapkan idenya diterima dengan menggunakan nama besar Sunan Bonang.
Namun terlepas dari nama besar Drewes sebagai ilmuwan yang telah melahirkan puluhan buku dan artikel tentang studi Islam dan Indonesia, meski belum ada satu pun yang terang-benderang mengkritik, sejumlah sejarawan tanah air ini tetap mengaitkan manuskrip ini sebagai kitab Sunan Bonang.
*Agus Sunyoto (Atlas Walisongo, 2016: 241): ... Naskah Primbon Bonang yang diyakini BJO Schrieke adalah tulisan Sunan Bonang...
*Simuh, Mistik Islami (dalam Abd Djalal, Lisanul Hal, Juni 2014): ... Pada masa inilah lahir manuskrip atau serat jawa seperti Primbon Sunan Bonang, Suluk Wujil, ...
*Purwadi (Mistik dan makrifat Sunan Bonang, 119): ... Ajaran Sunan Bonang menurut disertasi JGH Gunning dan BJO Schrieke memuat tiga hal: tasawwuf, ushuluddin, fikih...
*Rachmad Abdullah (Wali Songo, 125): ... Ini dapat diketahui dengan melihat isi dan wejangan Sunan Bonang yang tertulis dalam Het Boek van Bonang.
Keberatan Drewes pada dasarnya dapat diselesaikan dengan kesimpulan bahwa kitab ini bisa saja ditulis oleh tangan siapa saja, Sunan Bonang maupun muridnya ataupun bukan, tetapi isi dari kitab ini disalin dari buah pikiran Sunan Bonang yang berbicara tentang kapan, di mana, apa dan bagaimana kondisi sosial dan budaya Tuban dan sekitarnya yang melatarbelakangi kisah yang ditulis di dalam manuskrip tersebut.
Hingga saat ini, manuskrip berisi 88 halaman di atas kertas Dluwang Jawa ini ini masih tersimpan rapi pada Special Collecties di Leiden University Library. Kitab ini tidak dapat dipinjam bebas, tetapi masih dapat diakses di ruang baca.
Naskah tersebut dijilid dengan kover Eropa menggunakan kertas dari tulang dan lapisan ganda pada sampul depan dan belakang.
No comments:
Post a Comment