Labels

Saturday, March 18, 2017

Perkembangan Rasm al- Quran


Heihoo... I’m back untuk melanjutkan perjalanan rasm-al Qur’an hingga sampai ke tangan Bapak, Ibu, tuan dan nona. Jika lupa ulasan sebelumnya, silakan bertandang ke sini dan ke sini.


Kodifikasi mushaf yang telah diganda-sebarkan ke berbagai daerah, dengan kaidah rasm al-Uthmani, ditulis sesuai naskah Qur'an awal yang tanpa titik ataupun syakal. Cukup sulit membedakan konsonan yang tidak bertanda, misalnya ba’, ta', tsa', semuanya harus dikenali sesuai konteksnya karena bentuknya sama.

Mula-mula, hal ini tidak menjadi masalah bagi umat Islam periode awal yang mayoritas berbahasa/ berbudaya Arab. Namun seiring persebaran Islam, pertumbuhan jumlah muslim non Arab yang laju, maka teks al-Qur’an yang demikian ini menjadi sulit dipahami.

Banyaknya kuantitas umat Islam yang di satu sisi sangat menggembirakan, ternyata memiliki ancaman logis, adanya benturan budaya dan bahasa Arab dengan non Arab. Di kalangan masyarakat muslim, seringkali ada kesalahan dalam melafalkan al-Qur’an.

Al Zarkasy dalam al Burhan meriwayatkan, bahwa Abul Aswad ad Duali menawarkan peletakan tanda baca pada rasm al mushaf, ketika mendengar seseorang yang salah membaca surat at Taubah (QS 09:03) yang menyebabkan kekeliruan makna yang fatal. Ada juga Ubaidillah bin Zayyad, yang membantu seorang pria Persia untuk menambahkan alif pada kata yang tidak ber-alif, sebagai penanda  bacaan mad. Selain kedua tokoh tersebut, ada juga al Hajjaj yang merehabilitasi rasm al-Uthmani di sebelas tempat hingga orang dapat membaca dan memahaminya lebih mudah.

Peletakan titik dan kode pada mushaf ini, sekalipun sederhana dan memiliki tujuan mulia, rupanya memiliki proses cukup panjang dan rumit untuk bisa diterima. Tidak semua ulama membenarkan ijtihad ini, terlebih karena Abdullah bin Mas’ud pernah mewanti-wanti para sahabat untuk membebaskan al-Qur’an dan tidak mencampurinya dengan apapun. Riwayat ini menjadi dalil tidak dibenarkannya peletakan tanda baca apapun di atas al-Qur’an.

Adalah Imam Malik, generasi setelah Tabiit tabiin yang kemudian membolehkan penulisan titik, tapi khusus pada mushaf yang digunakan sebagai belajar. Sedangkan penitikan pada mushaf umum tetap tidak dibenarkan. Sampai akhirnya, muncul ulama-ulama moderat yang membedakan nuqath (titik) dan ta’syir (peletakan tanda pada setiap sepuluh).

Sejak saat itu, seperti diriwayatkan Abu Abdullah Husain bin Al Hasan Al Hulaimi al Jurjaniy, peletakan titik mulai tidak dianggap pelanggaran. Alasannya, titik bukanlah bentuk tulisan yang dapat membuat orang salah paham tentang content al-Qur’an.

Terobosan baru dilakukan oleh Imam Nawawy, yang menyampaikan bahwa peletakan titik dan harakat hukumnya sunnah, karena merupakan upaya agar al-Qur’an bebas dari kesalahan dan penyimpangan (untuk dibaca). Hal-hal yang mulanya dianggap bid’ah seperti pembatas ayat, nomor ayat, termasuk kode ain setelah 10 ayat, mulai dihukumi mubah.

Sementara itu, penandaan Makkiyah atau Madaniyah, masih saja dilarang oleh kalangan yang, menurut Shubhy Shalih, konservatif, karena bersikukuh bahwa rasm al-Qur’an bersifat tauqifi (sesuai petunjuk Nabi SAW). Namun kelompok moderat tidak menganggap kritikan ini.

Penyempurnaan ortografi mushaf  Uthmani ini kemudian menjadi kebutuhan kaum muslimin. Para pembuat kaligrafi pun mengambil langkah untuk mempercantik gaya penulisan dan hiasan di setiap lembaran al-Qur’an. Khalifah al Walid (87-96 H) bahkan menugaskan seorang ahli untuk menulis ayat al-Qur’an pada mihrab masjid Nabawi. Perselisihan pendapat ini masih terus berlangsung hingga akhir abad keempat Hijriah.

Abad 16 hingga 17 M, al-Qur’an mulai dicetak oleh kalangan non muslim Eropa, dan tidak satupun dari cetakannya tersisa di dunia Islam. Baru pada awal abad 19 M/ 13 H, penerbitan Al-Qur’an melalui lembaga muslim dilakukan. Pada perempatan pertama abad 20 M, Raja Fuad dari Mesir membentuk panitia khusus penerbitan al-Qur’an. Sejak itu, jutaan mushaf di cetak di belahan dunia.

Saat ini kita dapat menjumpai beragam bentuk al-Qur’an yang dicetak dari dalam dan luar negeri, yang tidak jarang telah dilengkapi tarjamah, asbab al-nuzul (sebab turunnya ayat), indeks, bahkan cetakan huruf warna-warni sebagai media membaca dan memahami al-Qur’an dengan lebih baik. Mushaf saat ini banyak dikemas dalam bentuk aneka rupa sesuai kebutuhan dan selera umat.

Segala sesuatu tergantung pada niat. Merujuk pada Imam Nawawi, penambahan yang dilakukan pada mushaf  jika masih berkisar pada media bantu untuk menghindari kesalahan atau untuk memahami al-Qur’an, maka dapat dihukumi sunnah. Yang kita perlu berhati-hati adalah, jika niat sudah bergeser pada nafsu duniawi, di mana isi al-Qur’an menjadi tidak lebih penting dari pada sampul dan hiasannya.


Disarikan dari berbagai sumber:
# Arifin, Zaenal, Mengenal Rasm Usmani: Sejarah, Kaidah dan Hukum Penulisan Al-Qur’a>n dengan rasm Usmani, dalam jurnalsuhuf.kemenag.go.id.
# Ash-Shabunie, Moh. Ali, Pengantar Ilmu-Ilmu Al Qur’a>n, alih bahasa Saiful Islam, ( Surabaya: Al Ikhlas. 1983)
# Chirzin, Muhammad, Al-Qur’a>n dan Ulum Al-Qur’a>n n, (Yogyakarta: Dana Bhakti, 1998)
# Hermawan, Acep, Ulumul Qur’a>n: Ilmu untuk memahami wahyu, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2011)
# Sadeghi, Behnam and Uwe Bergmann1, The Codex of a Companion of the Prophet and the Qurʾān of the Prophet, Arabica 57 (2010) 343-436.
# Saeed Abdullah, Al-Qur’a>n: an Introduction, (New York: Routledge, 2008)
# Shihab,  M. Quraisy, Membumikan Al-Qur’a>n, (Bandung, Mizan, 1994)
# Suma, M. Amin, Ulum al Al-Qur’a>n, ( Jakarta: Rajawali Press, 2013)
# Yusuf,  Kadar M., Studi Al-Qur’a>n, (Jakarta: Amzah, 2014)

1 comment: