Labels

Monday, December 19, 2016

Mengapa Al-Qur’an Tidak Terdistorsi? (1)



Tidak ada seorang Muslim pun yang meragukan keabsahan kitab sucinya. Yup kan? Kalau dia ragu, maka cacatlah imannya. Ketika Al-Qur’an diyakini sebagai  kitab terakhir yang berfungsi sebagai pegangan hidup, konsekuensinya kita wajib yakin bahwa Allah swt pasti menjamin kemurniannya supaya rujukan hidup kita hingga akhir zaman tidak goyah dan meragukan. Betul kan?


Nah, sebuah fakta jika di seluruh dunia, tidak ada satu Al-Qur’an pun yang isinya berbeda, walau satu kata. Jika ada penulisan yang menyalahi pedoman, tentu akan segera dideteksi dan dikoreksi. Kenapa? Karena by design, Al-Qur’an dihadirkan kepada kita sedemikian rupa sehingga sesuai janji Allah swt yang berfirman,”Sungguh Kami telah menurunkan peringatan (Al-Qur’an), dan Kamilah yang menjaganya”.

Namun sadarkah kita, bahwa secara sunnatullah, upaya menjaga kemurnian Al-Qur’an ini memiliki sejarah yang panjaaang sejak masa turunnya wahyu hingga berada di tangan kita saat ini, yang berjarak 21 abad. Fase demi fase menunjukkan betapa rigid dan bersungguh-sungguhnya penjagaan atas otentisitas Al-Qur’an. Inilah satu-satunya kitab suci yang tidak akan pernah mengalami distorsi dan reduksi meski telah dan akan dicetak sekian trilyun kali, dulu hingga nanti. 

Al-Qur’an al karim diturunkan kepada Rasulullah berangsur-angsur. Tepatnya, menurut mayoritas ulama, adalah 22 tahun 2 bulan, 22 hari. Selama itu, penjagaan atas otentisitasnya n dilakukan melalui hafalan dan catatan. Dalam hal hafalan, orang Arab hingga saat ini dikenal memiliki memori yang kuat. Terlebih, sahabat yang hidup pada masi Nabi Muhammad saw memiliki sifat bersahaja, sehingga memiliki banyak waktu luang untuk menambah ketajaman pikiran dan hafalan (beda banget sama generasi gue elo masa kiniih *tutup muka)

Selain itu, masyarakat Arab dikenal menyukai sastra, selaras dengan Al-Qur’an yang dari sisi redaksi memiliki keindahan sastrawi tak tertandingi. Ini diakui tidak hanya oleh mukminin tetapi juga oleh kaum kafir Quraisy. Karena itu, anjuran Rasulullah saw untuk banyak membaca dan mempelajarinya mendapat respon yang antusias. Dan ini berbanding lurus dengan kualitas hafalan para sahabat. 

Dalam hal catatan, meski banyak teori yang mengatakan bahwa bangsa Arab mayoritas buta aksara, namun beberapa bukti menunjukkan bahwa selama beberapa abad sebelum kelahiran Nabi Muhammad saw, telah berkembang suatu bentuk tulisan di Arab. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya beberapa prasasti dalam abjad Nabatean, Lihyanik dan Tsamudik.

Al-Qur’an sendiri memberi isyarat bahwa pada masa Nabi telah muncul budaya menulis, dari tamsilan tentang atmosfir niaga yang menyiratkan dibutuhkannya aktivitas tulis-menulis dalam bertransaksi. Pada penghujung abad ke-6 Masehi, para pedagang besar Arab telah memonopoli perdagangan dari pesisir barat Arabia hingga laut Tengah. Kereeen nggak siih?

Setiap kali ada ayat yang turun, Nabi saw memanggil sahabat untuk mencatat ayat yang baru diterima sambil menyampaikan tempat dan urutannya dalam susunan Al-Qur’an. Catatan-catatan tersebut ditulis di pelepah kurma, batu, kulit, atau pelepah binatang. Sebagai bentuk kehati-hatian menjaga akurasi Al-Qur’an, Rasulullah melarang pencatatan apapun selain Al-Qur’an.

Sepeninggal Rasulullah saw, sahabat Umar yang brilian dan revolusioner, menggalau ketika banyak penghafal Al-Qur’an yang syahid. Maka, kepada Abu Bakar yang menjabat khalifah masa itu, Umar mengusulkan untuk mengumpulkan catatan Al-Qur’an milik para sahabat. Khalifah Abu Bakar awalnya ragu dengan usulan tersebut, berhati-hati memutuskan karena hal ini tidak pernah dilakukan pada masa Rasul saw. Namun mengingat manfaat dari ide ini, khalifah menyetujui dengan membentuk tim yang diketuai Zayd bin Tsabit, dengan anggota Ali bin Abi Thalib, Uthman bin Affan, dan Ubay bin ka’ab.

Kodifikasi pertama yang dilakukan pada masa pemerintahan Abu Bakar ini, dilakukan dengan prosedur ketelitian dan kejujuran yang detail seperti ini:
1)        Melakukan klarifikasi hafalan satu sahabat dengan hafalan sahabat lain.
2)        Melakukan verifikasi terhadap para catatan sahabat yang dijadikan rujukan, bahwa semuanya ditulis di hadapan Nabi saw.
3)        Setiap tahap disyahkan dengan 2 saksi mata.

Wal-hasil, karena kualitas hafalan sahabat yang outstanding dan catatan yang komplit, maka tugas pengkodifikasian al-Qur’an periode pertama ini berhasil diselesaikan kurang dari setahun setelah perang Yamamah (12 H/ 633 M) dan sebelum wafatnya Khalifah Abu bakar (13 H/ 634 M), tanpa hambatan berarti. 

Ada sih sebenarnya, masalah teknis yang hikmahnya harus membuat kita sadar, betapa berhati-hatinya tim kodifikasi melakukan tugasnya. Akhir ayat surat Al-Taubah (9: 128) awalnya tidak ditemukan dalam semua catatan sahabat yang dirujuk. Zayd and friends sampai membuat pengumuman selama beberapa hari agar sahabat yang memiliki catatan ayat ini menyerahkan tulisannya kepada team. Akhirnya ditemukanlah ayat tersebut dalam catatan Abi Khuzaimah Al Anshari.

Bukannya Zayd sendiri hafal al Qur’an? Kenapa tidak langsung ditulis saja? That is it!
Begitu Abi Khuzaimah menyerahkan catatannya, Zayd yang gembira tidak langsung buru-buru menambahkannya dalam kodifikasi. Prosedur sumpah dan verifikasi atas keaslian catatan tetap dilakukan, hingga tulisan tersebut dianggap sebagai rujukan yang akurat.

Hasil kodifikasi al-Qur’an yang pertama ini dipegang oleh Khalifah Abu bakar hingga akhir hayatnya. Kemudian dialihkan penjagaannya kepada Umar bin Khattab ketika tampuk kekhalifahan dijabat olehnya. Sepeninggal khalifah Umar bin Khattab, pada masa awal kekhalifahan Uthman bin Affan, himpunan al-Qur’an tersebut diamanahkan kepada Hafshah binti Umar, dengan alasan bahwa Hafshah adalah seorang ha>fiz}ah, isteri Rasulullah saw. sekaligus putri Khalifah Umar. Selain itu Umar menghindari anggapan masyarakat muslim bahwa dirinya berpihak kepada calon khalifah tertentu, jika mewariskan kodeks tersebut kepada salah satu sahabat yang lain. Ke depannya, mush}af diambil alih untuk kepentingan penggandaan al-Qur’an pada periode selanjutnya.

Nah, masih penasaran bagaimana al-qur'an bisa terjaga keasliannya hingga kini? Stay tune dan intip kelanjutannya  ^_^

---
Tulisan ini disusun dengan rujukan antara lain:

------- Al-Qur’a>n dan Tejemahan,


Ali, Atabik, Kamus Kontemporer Arab – Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996)


Amal, Taufik Adnan, Rekonstrukdi Sejarah Al-Qur’a>n, (Yogyakarta: FKBA, 2001)


Ash-Shabunie, Moh. Ali, Pengantar Ilmu-Ilmu Al Qur’a>n, alih bahasa Saiful Islam, ( Surabaya: Al Ikhlas. 1983)


Chirzin, Muhammad, Al-Qur’a>n dan Ulum Al-Qur’a>n n, (Yogyakarta: Dana Bhakti, 1998)


Hermawan, Acep, Ulumul Qur’a>n: Ilmu untuk memahami wahyu, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2011)


Qatthan,  Manna’ Khalil, Mabahits fi Ulum Al-Qur’a>n, (Riyadh, t.p, t.th)


Sadeghi, Behnam and Uwe Bergmann1, The Codex of a Companion of the Prophet and the Qurʾān of the Prophet, Arabica 57 (2010) 343-436.


Saeed Abdullah, Al-Qur’a>n: an Introduction, (New York: Routledge, 2008)


Shihab,  M. Quraisy, Membumikan Al-Qur’a>n, (Bandung, Mizan, 1994)


Suma, M. Amin, Ulum al Al-Qur’a>n, ( Jakarta: Rajawali Press, 2013)


Yusuf,  Kadar M., Studi Al-Qur’a>n, (Jakarta: Amzah, 2014)


2 comments: