Tidak ada seorang Muslim pun yang meragukan keabsahan
kitab sucinya. Yup kan? Kalau dia ragu, maka cacatlah imannya. Ketika Al-Qur’an
diyakini sebagai kitab terakhir yang
berfungsi sebagai pegangan hidup, konsekuensinya kita wajib yakin bahwa Allah
swt pasti menjamin kemurniannya supaya rujukan hidup kita hingga akhir zaman
tidak goyah dan meragukan. Betul kan?
Nah, sebuah fakta jika di
seluruh dunia, tidak ada satu Al-Qur’an pun yang isinya berbeda, walau satu
kata. Jika ada penulisan yang menyalahi pedoman,
tentu akan segera dideteksi dan
dikoreksi. Kenapa? Karena by design, Al-Qur’an
dihadirkan kepada kita sedemikian rupa sehingga sesuai janji Allah swt yang
berfirman,”Sungguh Kami telah menurunkan peringatan (Al-Qur’an), dan
Kamilah yang menjaganya”.
Namun sadarkah kita, bahwa secara sunnatullah, upaya menjaga
kemurnian Al-Qur’an ini memiliki sejarah yang panjaaang sejak masa turunnya
wahyu hingga berada di tangan kita saat ini, yang berjarak 21 abad. Fase demi
fase menunjukkan betapa rigid dan bersungguh-sungguhnya penjagaan atas
otentisitas Al-Qur’an. Inilah satu-satunya kitab suci yang tidak akan
pernah mengalami distorsi dan reduksi meski telah dan akan dicetak sekian
trilyun kali, dulu hingga nanti.
Al-Qur’an al karim diturunkan kepada Rasulullah berangsur-angsur.
Tepatnya, menurut mayoritas ulama,
adalah 22 tahun 2 bulan, 22 hari. Selama itu, penjagaan atas otentisitasnya n dilakukan melalui hafalan
dan catatan. Dalam hal hafalan, orang Arab hingga saat ini dikenal memiliki
memori yang kuat. Terlebih, sahabat yang hidup pada masi Nabi Muhammad saw memiliki
sifat bersahaja, sehingga memiliki banyak waktu luang untuk menambah ketajaman
pikiran dan hafalan (beda banget sama
generasi gue elo masa kiniih *tutup muka)
Selain
itu, masyarakat Arab dikenal menyukai sastra, selaras dengan Al-Qur’an yang
dari sisi redaksi memiliki keindahan sastrawi tak tertandingi. Ini diakui tidak
hanya oleh mukminin tetapi juga oleh kaum kafir Quraisy. Karena itu,
anjuran Rasulullah saw untuk banyak membaca dan mempelajarinya mendapat respon yang antusias. Dan ini berbanding lurus dengan kualitas hafalan para
sahabat.
Dalam
hal catatan, meski banyak teori yang mengatakan bahwa bangsa Arab mayoritas
buta aksara, namun beberapa bukti menunjukkan bahwa selama beberapa abad
sebelum kelahiran Nabi Muhammad saw, telah berkembang suatu bentuk tulisan di
Arab. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya beberapa
prasasti dalam abjad Nabatean, Lihyanik dan Tsamudik.
Al-Qur’an sendiri memberi isyarat bahwa pada masa Nabi telah muncul budaya menulis, dari
tamsilan tentang atmosfir niaga yang menyiratkan dibutuhkannya aktivitas
tulis-menulis dalam bertransaksi. Pada penghujung abad ke-6
Masehi, para pedagang besar Arab telah memonopoli perdagangan dari pesisir
barat Arabia hingga laut Tengah. Kereeen nggak siih?
Setiap kali
ada ayat yang turun, Nabi saw memanggil sahabat untuk mencatat ayat yang baru
diterima sambil menyampaikan tempat dan urutannya dalam susunan Al-Qur’an. Catatan-catatan
tersebut ditulis di pelepah kurma, batu, kulit, atau pelepah binatang. Sebagai
bentuk kehati-hatian menjaga akurasi Al-Qur’an, Rasulullah melarang
pencatatan apapun selain Al-Qur’an.
Sepeninggal
Rasulullah saw, sahabat Umar yang brilian dan revolusioner, menggalau ketika
banyak penghafal Al-Qur’an yang syahid. Maka, kepada
Abu Bakar yang menjabat
khalifah masa itu, Umar mengusulkan untuk mengumpulkan catatan Al-Qur’an milik
para sahabat. Khalifah Abu Bakar awalnya ragu dengan usulan tersebut, berhati-hati memutuskan karena hal ini tidak pernah dilakukan pada
masa Rasul saw. Namun mengingat manfaat
dari ide ini, khalifah menyetujui dengan membentuk tim yang diketuai Zayd bin
Tsabit, dengan anggota Ali bin Abi Thalib, Uthman bin Affan, dan Ubay bin
ka’ab.
Kodifikasi
pertama yang dilakukan pada masa pemerintahan Abu
Bakar ini, dilakukan dengan prosedur ketelitian dan kejujuran yang detail seperti ini:
1)
Melakukan klarifikasi hafalan satu sahabat dengan hafalan sahabat lain.
2)
Melakukan
verifikasi terhadap para catatan
sahabat yang dijadikan rujukan, bahwa semuanya ditulis
di hadapan Nabi saw.
3)
Setiap
tahap disyahkan dengan 2 saksi mata.
Wal-hasil, karena
kualitas hafalan sahabat yang outstanding dan catatan yang komplit, maka tugas
pengkodifikasian al-Qur’an periode pertama ini berhasil diselesaikan kurang
dari setahun setelah perang Yamamah (12 H/ 633 M) dan sebelum wafatnya Khalifah
Abu bakar (13 H/ 634 M), tanpa hambatan berarti.
Ada sih sebenarnya, masalah
teknis yang hikmahnya harus membuat kita sadar, betapa berhati-hatinya tim
kodifikasi melakukan tugasnya. Akhir ayat surat Al-Taubah (9: 128) awalnya tidak
ditemukan dalam semua catatan sahabat yang dirujuk. Zayd and friends sampai
membuat pengumuman selama beberapa hari agar sahabat yang memiliki catatan ayat
ini menyerahkan tulisannya kepada team. Akhirnya ditemukanlah ayat
tersebut dalam catatan Abi Khuzaimah Al Anshari.
Bukannya
Zayd sendiri hafal al Qur’an? Kenapa tidak langsung ditulis saja? That
is it!
Begitu Abi Khuzaimah
menyerahkan catatannya, Zayd yang gembira tidak langsung buru-buru menambahkannya
dalam kodifikasi. Prosedur sumpah dan verifikasi atas keaslian catatan tetap
dilakukan, hingga tulisan tersebut dianggap sebagai rujukan yang akurat.
Hasil kodifikasi
al-Qur’an yang pertama ini dipegang oleh Khalifah Abu bakar hingga akhir
hayatnya. Kemudian dialihkan penjagaannya kepada Umar bin Khattab ketika tampuk
kekhalifahan dijabat olehnya. Sepeninggal khalifah Umar bin Khattab, pada masa
awal kekhalifahan Uthman bin Affan, himpunan al-Qur’an tersebut diamanahkan kepada Hafshah
binti Umar, dengan alasan bahwa Hafshah adalah seorang ha>fiz}ah, isteri Rasulullah saw.
sekaligus putri Khalifah Umar. Selain itu Umar menghindari
anggapan masyarakat muslim bahwa dirinya berpihak kepada calon khalifah
tertentu, jika mewariskan kodeks tersebut kepada salah satu sahabat yang lain. Ke
depannya, mush}af diambil alih untuk kepentingan penggandaan al-Qur’an pada periode selanjutnya.
Nah,
masih penasaran bagaimana al-qur'an bisa terjaga keasliannya hingga kini? Stay
tune dan intip kelanjutannya ^_^
---
Tulisan
ini disusun dengan rujukan antara lain:
------- Al-Qur’a>n dan
Tejemahan,
Ali, Atabik, Kamus
Kontemporer Arab – Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok
Pesantren Krapyak, 1996)
Amal, Taufik
Adnan, Rekonstrukdi Sejarah Al-Qur’a>n, (Yogyakarta:
FKBA, 2001)
Ash-Shabunie,
Moh. Ali, Pengantar Ilmu-Ilmu Al Qur’a>n, alih
bahasa Saiful Islam, ( Surabaya: Al Ikhlas. 1983)
Chirzin,
Muhammad, Al-Qur’a>n
dan Ulum Al-Qur’a>n n, (Yogyakarta:
Dana Bhakti, 1998)
Hermawan, Acep,
Ulumul Qur’a>n:
Ilmu untuk memahami wahyu, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2011)
Qatthan, Manna’ Khalil, Mabahits fi Ulum Al-Qur’a>n,
(Riyadh, t.p, t.th)
Sadeghi, Behnam
and Uwe Bergmann1, The Codex of a Companion of the Prophet and the Qurʾān of
the Prophet, Arabica 57 (2010) 343-436.
Saeed Abdullah,
Al-Qur’a>n:
an Introduction, (New York: Routledge, 2008)
Shihab, M. Quraisy, Membumikan Al-Qur’a>n, (Bandung,
Mizan, 1994)
Suma, M. Amin, Ulum
al Al-Qur’a>n, (
Jakarta: Rajawali Press, 2013)
Yusuf, Kadar M., Studi Al-Qur’a>n, (Jakarta:
Amzah, 2014)
Penasaran.... Ditunggu mbak kelanjutannya.
ReplyDeletemantap bunn
ReplyDelete